بسم الله الرحمن الرحيم

Lapar dan meninggalkan syahwat

405494.jpg

Lapar dan meninggalkan syahwat

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami akan mengujimu dengan suatu cobaan, yaitu ketakutan, lapar, kekurangan harta benda, jiwa dan buah-buahan. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”(QS. Al Baqarah 155).

Artinya, berilah mereka kabar gembira dengan perolehan pahala yang baik akrena mereka mampu bersabar menghadapi sakitnya lapar . Allah SWT berfirman “Mereka mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri meskipun mereka sangat butuh”. (QS. Al-Hasyr 9).

Dari Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Fathimah RA. Pernah memberikan pecahan roti kepada RasuluLlah SAW, beliau bertanya, “pecahan apa ini wahai Fathimah ?”

“Pecahan roti”

Fathimah RA. Diam sebelum melanjutkan jawabannya, “Saya tidak akan merasa tenang sebelum memberikan pecahan roti ini keayah “.

“Pecahan roti ini adalah makanan pertama yang masuk ke dalam mulut ayahmu selama tiga hari”.

Dengan demikian lapar merupakan bagian dari sifat – sifat ulama dan merupakan salah satu sendi perjuangan. Orang-orang yang menempuh perjalanan menuju Allah SWT berangsur-angsur dapat mengembalikan lapar pada posisinya di dalam diri mereka sehingga mereka mampu menghindari makanan. Oleh karena itu mereka telah menemukan sumber kebijaksanaan dengan cara melaparkan diri.

Menurut Ibnu Salim, tata cara lapar adalah seseorang tidak diperkenankan mengurangi kebiasaan lapar kecuali dia seperti telinga kucing. Menurut satu cerita, Sahal bin AbduLlah tidak makan kecuali setelah 15 hari. Jika bulan puasa tiba, ia tidak mau makan sebelum ia melihat hilal/bulan. Setiap malam ia berbuak dengan air putih.

Yahya bin Mu’adz berkata, “seandainya lapar dapat dijual di pasar, maka tidak pantas bagi orang-orang yang mencari kenikmatan akhirat apabila masuk ke pasar membeli yang lainnya”. Sahal bin AbuLlah berkata, “Ketika Allah SWT menciptakan dunia, Dia menjadikan kenyang untuk kemaksiyatan dan kebodohan, dan menjadikan lapar untuk pengetahuan dan kebijaksanaan. “ Oleh karena itu Yahya bin Mu’adz berpendapat, lapar bagi orang yang menempuh jalan menuju Allah SWT adalah latihan, bagi orang yang tobat adalah ujian, bagi orang yang zuhud adalah pengaturan, dan bagi orang yang makrifat adalah kemuliaan”.

Saya (Syaikh Al-Qusyairi) mendengar tuan guru Abu Ali Ad-Daqaq bercerita tentang seorang murid yang bertamu kapada gurunya. Murid itu melihat gurunya dalam keadaan menangis.

“Apa yang menyebabkan tuan menangis ?”

“Saya lapar”

“Apakah tangisan tuan akrena lapar ?”

“Diamlah, apakah engkau tahu bahwa yang dimaksud lapar adalah tangisku.”

Diceritakan oleh Dawud bin Mu’adz, “Saya telah mendengar Mukhalid berkata, ‘Hajjaj bin Farafishah bersama kami di Syam. Di tinggal di sana selama limapuluh hari. Dia tidak pernah minum air, demikian pula makan sampai kenyang”.

Dalam suatu cerita, Abu Turan An-Naqsyabi mengunjungi kota Makkah melalui daerah padang pasir Bashrah. Kami bertanya tentang makannya, ia menjawab, “Saya keluar dari Bashrah dan makan di Nibaj (Suatu tempat /jalanan di antara kota Bashrah dan Makkah). Kemudian makan di Dzat Iraq. Dari sana saya menuju kalian. Oleh karena itu saya meninggalkan padang pasir Bashrah hanya dua kali makan.” Dalam suatu ungkapan juga diceritakan bahwa Sahal bin AbduLlah apabila lapar, ia akan menjadi kuat, dan apabila ia makan maka ia menjadi lemah.

Abu Utsman Al-Maghribi berkata, “Rabbani tidak makan selama 40 hari, sedangkan Shamdani tidak makan selama 80 hari.” Abu Sulaiman Ad-Darani berpendapat, kunci dunia adalah kenyang, sedangkan kunci akhirat adalah lapar.

Ditanyakan pada Sahal bin AbduLlah bahwa ada seorang laki-laki hanya makan satu kali. Dia menjawab, “i

Itu makannya orang-orang yang baik”.

“Bagaimana jika makan dua kali ?”

itu makannya orang-orang mukmin”.

“Bagai mana jika makan tiga kali ?”

“Itu seperti orang yang mendirikan tempat makan untuk binatang”.

Menurut Yahya bin Mu’adz, lapar di ibaratkan cahaya, kenyang di ibaratkan api, dan syahwat di ibaratkan kayu yang dapat dibakar yang apinya tidak akan mati sebelum membakar pemiliknya”.

Abu Nashr As-siraj At-Thuusi bercerita bahwa di suatu hari seorang sufi bertamu kepada gurunya. Gurunya memberikan jamuan seraya bertanya, “berapa hari engkau tidak makan ?”

lima hari”.

“Laparmu adalah laparnya orang kikir. Oleh karena itu engkau wajib memberikan pakaianmu. Engkau harus lapar, sebab laparmu ini bukan laparnya orang fakir”.

Abu Sulaiman Ad-Daraani berkata, “Meninggalkan satu suapan lebih dicintai Allah daripada shalat sepanjang malam”.

Abul Qasim Ja’far bin Ahmad Ar-Razi menuturkan sebuah cerita tentang kawannya yang bernama Abul Khair Al-Asqalaani. Kawannya ini selama 2 tahun sangat menginginkan ikan. Tidak lama kemudian ia memperolehnya yang diambil dari tempat yang halal. Ketika hendak mengulurkan tangannya untuk makan, jari-jarinya tertancap duri sampai melukai tulang ujung jarinya. Dia terkejut, “Ya Tuhan, ini hukuman bagi orang yang mengulurkan tangannya karena sangat menginginkan makanan yang halal. Bagaimana jadinya jika makanan yang hendak diambilnya adalah makanan yang haram ?”.

Saya (Syaikh Al Qusyairy) telah mendengar Rustam Asy_Syairazi As-Shufi berkata, “Abu AbdiLlah bin Khafif pernah diundang dalam suatu jamuan. Salah seorang yang hadir dari murid-muridnya mengulurkan tangan untuk mendapatkan makanan. Sebagian murid-murid lain yang melihatnya tidak suka kepadanya karena budi pekertinya yang buruk. Dia bertindak lancing dengan mengulurkan tangannya terlebih dahulu sebelum gurunya mengambil. Setelah itu temannya yang lain meletakkan makanan di hadapan temannya yang fakir ini. Rupanya murid yang menjadi pusat perhatian kawan-kawannya ini menyadari. Dia faham bahwa dirinya tidak disukai. Kemudian ia bertekad untuk tidak makan selama lima puluh hari sebagai hukuman untuk dirinya sendiri. Dia menghajar dirinya dengan tidak memberinya makan selama sepuluh hari supaya ia sadar.dengan demikian ia akan memperoleh pelajaran etika, disamping perubahan sikap setelah pembuktian tobat atas budi pekertinya yang buruk. Dia mengerjakan hal tersebut di tengah ia sangat membutuhkan makanan. “

Menurut Malik bin Dinar, orang yang mampu mengalahkan keinginan dunia, maka setan akan lari dari bayangannya. Abu Ali Ar-Rudzabaari berkata, “Apabila setelah lima hari seorang shufi berkata, ‘saya lapar’, maka bawalah ia ke pasar dan suruhla ia bekerja.

Saya (Asyaikh Abul Qasim Al-Qusyairy) pernah mendengar Syaikh Abu Ali Adf-Daqaq bercerita tentang sebagian gurunya. Dia berkata, “Orang-orang yang dimasukkan ke dalam neraka adalah orang-orang yang sikalahkan oleh syahwat / keinginannya sehingga ia terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang. Oleh karena itu mereka menjadi cacat.

Saya (Asy-Syaikh Al-Qusyairy) juga telah mendengar tentang sebagian gurunya yang pernah di Tanya, “Apakah anda tidak berkeinginan (tidak bernafsu) ?”

“Saya sebenarnya bernafsu, akan tetapi saya melarangnya”.

Sebagian shufi yang lain juga pernah di Tanya hal yang hamper sama, “Apakah engkai tidak berkeinginan ?”. kemudian di jawab, “Saya ingin agar tidak ingin”.

Abu Nashr At-tammar berkata, “di waktu malam ada seseorang yang datang kepadaku. Saya menyambutnya dengan mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang telah mendatangkanmu.’ Suatu hari kami kedatangan kapas dari khurasan. Setelah itu seorang anak perempuan menarik dan menjualnya . dia membelikannya daging untuk kami dan berbuka di samping kami. Orang yang datang pertama berkata, ‘Seandainya saya mau makan di samping orang lain, pasti saya mau makan di samping kalian. Saya sebenarnya menginginkan terong selama dua tehun, akan tetapi saya tidak pernah memakannya.’ Saya memberitahukan,’ di tempat itu ada terong yang halal.’ Dia menjawab, ‘selagi saya menginginkan buah terong, maka saya tidak akan memakannya’.

Saya (Syaikh Al Qusyairy) telah mendengar Abu Ahmad As-Shaghir berkata, “Saya diperintah oleh AbdulLah bin Khafif agar menghidangkan 10 biji buah anggur untuk berbuka setiap malam. Di malam itu saya merasa khawatir, oleh karena itu saya tambahkan untuknya lima biji, tetapi ia keburu melihat saya. Dia menegur, “Siapa yang memerintahkanmu berbuat seperti ini ?” Semenjak itu dia hanya memakan 10 biji dan meninggalkan sisanya.”

Abu Thurab An-Naqsyabi berkata, “Diriku tidak pernah menginginkan sesuatu kecuali satu kali, yaitu menginginkan roti dan telur. Di tengah perjalanan pulang ke suatu desa, tiba tiba ada seseorang berdiri dan menghadangku. Dia berteriak, “Orang ini bersama pencuri’. Maka orang-orang yang ada di situ memukulku dan mencambukku. Selang beberapa waktu ada oraqng yang mengenaliku. Dia terkejut sebelum akhirnya berkata, “Orang laki-laki ini adalah Abu Thurab An-Naqsyabi.’ Mereka kemudian meminta maaf kepadaku. Setelah itu diantara mereka ada yang mengajakku mampir ke rumahnya dan memberikan hidangan roti dan telur. Saya bergumam pada diri sendiri, ‘Makanlah setelah engkau mendapatkan 70 cambukan’.

21 Oktober 2007 - Posted by | Risalah Al-Qusyairiyah

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar